Kedatangan bangsa Belanda ke tanah Nusantara dimulai pada tahun 1596. Mereka ingin melakukan hubungan dagang dengan penduduk yang ada di wilayah Nusantara. Untuk mencegah adanya persaingan yang tidak sehat di antara pedagang Belanda dan pedagang asing lainnya (khususnya Portugis dan Spanyol), maka para pedagang Belanda mendirikan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC, yaitu kongsi atau perserikatan perdagangan Belanda yang ada di wilayah Nusantara.
VOC didirikan pada tahun 1602 dan dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal yang bernama Pieter Both. Akan tetapi, pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dibubarkan.
Kedatangan bangsa asing ke wilayah Nusantara pada awalnya disambut dengan gembira oleh rakyat Indonesia. Mereka semua dating dengan tujuan melakukan perniagaan, yaitu jual beli rempah-rempah yang memang sangat dibutuhkan oleh bangsa Eropa. Akan tetapi karena keangkuhan dan keserakahannya, bangsa Eropa menerapkan system monopoli.
Pada saat sistem ini diterapkan, mulailah ada reaksi dari rakyat Indonesia. Apalagi setelah mereka menerapkan sistem kolonial. Rakyat Indonesia bukan saja bereaksi, tetapi juga mengadakan perlawanan bersenjata.
Adapun perlawanan rakyat Indonesia dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang, antara lain sebagai berikut.
1. Thomas Matulessy (Pattimura) di Maluku
Rakyat Maluku bangkit menentang Belanda pada tanggal 16 Mei 1817di bawah pimpinan Pattimura. Beliau adalah seorang Kristen yang taat,pandai dan cekatan. Dilahirkan pada tanggal 8 Juni 1783 dengana namaThomas Matulessy. Ia pernah menjadi tentara Inggris dengan pangkatsersan mayor. Kemudian ia terkenal dengan sebutan Kapitan Pattimura.
Raja-raja kecil di Maluku turut membantu perjuangan Pattimura, seperti Raja Lha, Nolot, Tuhaja, Itawaku dan Ihamaku. Selain itu juga Pattimura dibantu oleh Philip Latumahimma dan seorang putri raja Maluku yang bernama Martha Khristina Tiahahu yang berusia 18 tahun.
Belanda merasa kewalahan dengan perlawanan dari pasukan Pattimura ini. Lalu, Belanda mengajak Pattimura untuk berunding, namun ditolaknya dengan tegas. Belanda semakin meningkatkan serangannya untuk mendesak Pattimura. Akibatnya beberapa pimpinan pasukan Pattimura dapat ditangkap. Pattimura juga akhirnya dapat ditangkap, beliau dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung di depan Benteng Viktoria pada tanggtal 16 Desember 1817.
Penangkapan Pattimura disebabkan adanya pengkhianatan dari Raja Boi. Ia menunjukkan tempat pertahanan Pattimura kepada Belanda. Begitu juga dengan Raja Paulus Tiahahu, ayah Martha Khristina Tiahahu ditembak mati di hadapan rakyatnya. Martha Khristina Tiahahu sendiri diasingkan ke Pulau Jawa, namun sebelum sampai di Pulau Jawa beliau wafat, yaitu pada tanggal 2 Januari 1818.
2. Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Iman Bonjol adalah pemimpin Perang Padri tahun 1821-1837. Penyebab timbulnya Perang Padri adalah adanya pertentangan antara kaum adat dengan kaum Islam (ulama). Kaum adat terdiri atas raja dan para pengikutnya, sebagian besar masyarakat Minangkabau dikuasai oleh kaum adat.
Perbuatan dan adat kebiasaan para penghulu adat sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Seperti kebiasaan hidup mewah, berjudi, minum minuman keras dan menyambung ayam. Sikap hidup yang demikian menimbulkan kerawanan sosial. Di dalam masyarakat, sering terjadi pencurian, perampokan serta menimbulkan kegelisahan masyarakat. Akibat yang lebih jauh lagi adalah membawa kemelaratan terhadap rakyat.
Kaum Padri menentang kebiasaan dan adat istiadat yang merusak masyarakat, terutama yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pimpinan kaum Padri adalah Peta Syarif. Beliau dikenal dengan nama Iman Bonjol atau Tuanku Imam Malim Besar. Beliau dilahirkan pada tahun 1772 di Tanjung Bunga Pasaman, Sumatera Barat. Iman Bonjol mewajibkan pengikutnya memakai pakaian dan sorban putih. Oleh karena itu, mereka disebut kaum Putih.
Tuanku Imam Bonjol menyambut Belanda dengan perlawanan yang gigih. Imam Bonjol dibantu oleh sejumlah ulama dan penghulu yang memihak kepadanya, seperti Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin, Haji Piabang dan Haji Sumanik. Belanda mendirikan benteng di Bukittinggi dan Batusangkar. Walaupun demikian, Belanda tidak dapat mengalahkan pasukan kaum Padri. Dalam pertempuran itu, Tuanku Nan Renceh gugur dan menjadi pahlawan bangsa.
Pada tanggal 29 Oktober 1825, Belanda berhasil mengadakan perjanjian damai dengan kaum Padri yang terkenal dengan Perjanjian Padang. Isi perjanjian tersebut adalah “Kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata.” Setelah perjanjian itu, selama 4 tahun tanah Minangkabau aman, tidak ada peperangan antara kaum Padri dengan Belanda.
Walaupun senjata pasukan Belanda lengkap dan banyak, tetapi mereka baru berhasil menguasai benteng Bonjol pada bulan Oktober 1837. Imam Bonjol berhasil ditangkap Belanda pada tanggal 25 Oktober 1837. Pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol dipindahkan ke Ambon Maluku. Kemudian pada tahun 1841, dipindahkan ke Manado di Sulawesi Utara. Pada tanggal 6 November 1864, beliau wafat dalam usia 92 tahun. Dimakamkan di kampung Pineleng dekat Kota Manado.
3. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro semasa kecilnya bernama Ontowiryo. Dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785. Beliau adalah putra Sultan Hamengku Buwono III. Beliau mendapat pendidikan agama Islam, keprajuritan dan kepahlawanan. Juga budi pekerti, cinta kepada sesama manusia, cinta bangsa dan cinta tanah air.
Kemarahan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda memuncak ketika Patih Danureja IV, suruhan Daendels memasang tonggak-tonggak di atas tanah milik Pangeran Diponegoro di Tegalejo. Hal itu dilakukan tanpa seizin Pangeran Diponegoro terlebih dahulu.
Pada tanggal 20 Juli 1825, pasukan Belanda melakukan serangan ke Tegalrejo. Hal ini membangkitkan perlawanan Pangeran Diponegoro. Daerah Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Kedu dan Banyumas juga ikut
berontak. Kedu dijadikan pusat perlawanan dan pemerintahan Pangeran Diponegoro. Markas besarnya terletak di Gunung Manoreh.
Perlawanan Diponegoro dibantu pula oleh teman-temannya. Pangeran Mangkubumi dan Kiai Maja sebagai penasehat. Pangeran Ngabehi Jayakusuma dan Sentot Alibasya Prawirodirjo sebagai panglima perang. Ada pula bantuan dari Imam Musba dan Prawirokusumo. Pengaruh perlawanan Pangeran Diponegoro sampai pantai utara Jawa. Rakyat mengangkat Pangeran Diponegoro menjadi sultan dengan gelar Sultan Abdulhamid Herucakra Amirul Mukminin Sayidin Panatagama.
Perang Diponegoro berlangsung bertahun-tahun, mulai tanggal 20 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830. Siasat Perang Diponegoro adalah gerilya. Markasnya terus berpindah-pindah, mula-mula di Tegalrejo kemudian pindah ke Selarong, Plered, Sala, Kedu, Bagelen, Banyumas, Tegal dan Pekalongan.
Panglima tentara Belanda, Jenderal de Kock meminta agar Pangeran Diponegoro mau melakukan perundingan dengan menjamin keselamatannya. Perundingan dilakukan di Magelang, namun Jenderal de Kock mengingkari janjinya. Secara tiba-tiba seluruh pengikut Pangeran Diponegoro dilucuti senjatanya dan Pangeran Diponegoro ditangkap. Dari Magelang, Pangeran Diponegoro dibawa ke Semarang dengan kapal kemudian ke Batavia. Dari Batavia, Pangeran Diponegoro dibawa ke Manado (1830), kemudian dipindahkan ke Ujungpandang (1834). Beliau ditahan di Fort Rotterdam (benteng Makassar). Setelah ditahan selama 24 tahun oleh Belanda, pada tanggal 18 Januari 1855 beliau wafat dan dimakamkan di Kota Ujungpandang.
Perlawanan Pangeran Diponegoro ini ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar dan luas. Bagi Belanda, Perang Diponegoro telah menelan korban yang cukup besar, yaitu telah kehilangan 8.000 orang Eropa dan 7.000 orang pribumi serta menelan biaya yang tinggi, yaitu 20 juta gulden.
4. Pangeran Antasari
Pangeran Antasari terus melakukan perlawanan, harapan rakyat Banjar untuk mengangkat Pangeran Hidayat menjadi Sultan sudah hilang. Untuk itu, rakyat mengangkat Pangeran Antasari untuk menggantikannya. Ia pun memperoleh gelar Panembahan Amiruddin Khalifat ul Mu’minin sebagai pengganti Sultan Adam.
Walaupun sudah diangkat menjadi sultan, Pangeran Antasari tidak mau berdiam diri di keraton. Beliau memilih tinggal di benteng-benteng atau markas-markas pertahanan di dalam hutan belantara. Beliau terus berjuang walaupun usianya semakin tua. Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari wafat di Hulu Teweh (Kalimantan Selatan).
Perlawanan rakyat Banjar terus berkobar. Walaupun akhirnya Belanda dapat menangkap beberapa pemimpin pasukan Pangeran Antasari yang bermarkas di gua-gua, yaitu Kiai Demang Leman dan Tumanggung Aria Pati. Tahun 1866, Haji Buyasin gugur di medan perang. Sementara Kiai Demang Leman digantung Belanda. Putra-putra Pangeran Antasari melanjutkan perjuangan ayahandanya, antara lain Sultan Seman hingga meninggalnya pada tahun 1905.
5. Raja Buleleng
Masalah yang menyulitkan hubungan Belanda dengan Kerajaan Bali adalah berlakunya Hak Tawan Karang, yaitu hak Raja Bali untuk merampas perahu yang terdampar di wilayahnya. Belanda banyak mengalami kerugian dengan berlakunya Hak Tawan Karang tersebut. Pada tahun 1844, di Pantai Pracak dan Sangit terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda yang terdampar. Asisten Residen Banyuwangi Ravia de Lignij datang ke Bali untuk membuat perjanjian penghapusan Tak tawan Karang ini. Dia pun menuntut Kerajaan Bali tunduk kepada kekuasaan Belanda.
Pada tanggal 29 Juni 1846, istana raja dapat diduduki Belanda. Raja Buleleng dan patihnya beserta pasukannya terpaksa mundur ke Benteng Jagaraga. Jatuhnya Benteng Jagaraga memengaruhi raja-raja yang lain untuk bersikap lemah. Pada tanggal 20 September 1906, Belanda menyerang Kerajaan Badung yang masih menggunakan Hak Tawan Karang. Keluarga kerajaan menyambut kedatangan Belanda dengan Perang Puputan, yaitu perang sampai tetes darah penghabisan. Akhirnya pada awal abad ke-20, seluruh Kerajaan Bali dapat ditundukkan oleh Belanda.
6. Perlawanan Rakyat Aceh
Perlawanan terhadap Belanda terus terjadi di mana-mana, antara lain:
- perlawanan rakyat Aceh di daerah Pidie dipimpin oleh TeungkuCik Di Tiro;
- Teuku Umar dengan istrinya Cut Nyak Din memimpin di Acehbagian barat.Walaupun istana telah direbut Belanda, tetapi perjuangan rakyat Acehterus berkobar. Daerah-daerah di luar kota dikuasai sepenuhnya oleh parapejuang Aceh. Mereka dipimpin oleh para teuku (panglima) dan teungku(ulama).